This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 17 Maret 2016

AYO TABAYYUN

                    PENTINGNYA CROSSCHEK         


                    WARUNG BU FATHIMAH
Langit malam itu tampak begitu cerah, bintang-bintang tampak berkilauan, rembulan sangat terang benderang, malam hari itu sesosok tubuh dengan kepala mendongak ke atas berdiri di emperan rumah, termenung seakan ada masalah besar hinggap di pundaknya, dia jatuhkan tubuhnya di kursi sederhana di sampingnya,
“kenapa bisa seperti ini” gumamnya di kesunyian malam. Keningnya mengkerut, tangannya terkadang  mengepal, pikirannya di penuhi lamunan ,,,
“abah ayo makan” seru seorang gadis dengan rambut sepinggang dan wajah yang cantik, memecahkan lamunan yang terus terbayang di kepalanya.
“iya, tunggu sebentar” jawab lelaki tua itu dengan nada lembut,.
Malam hari ini istri pak lasman memasak telur dengan saus tiramnya yang lezat, di tambah kerupuk dang yang masih hangat, dan satu lagi sambal teri yang tidak ketinggalan ..
Warung makan bu fathimah memang terkenal memiliki masakan yang khas, pedas dan manisnya pas di lidah.
Hari-hari sebelumnya hampir setiap warga memenuhi ruangan antrian untuk membeli masakannya.
Abah memakan masakan bu fathimah dengan malas dan lesu, tidak seperti biasanya, yang semangat dan lahap, apalagi ini adalah menu istimewa ..
“sudahlah bah, tidak usah terlalu dipikirkan” dengan nada parau, seakan mengerti apa yang sedang terrbayang di kepala pak lasman.
Abah membalasnya dengan pandangan glisah bercampur sedih, dia tidak berkata apa pun, terdiam seribu bahasa, seakan ada penghalang yang membuat suaranya tercekat.
Suasana sangat hening, hanya sendok dan garpu berdentingan di piring.
Abah mengambil segelas air dan meminum nya, dia menghela nafas dan memulai ambil ancang-ancang untuk berbicara, di letakkan kembali gelas itu, dan memulai berbicara, pandangannya sangat tenang dan berwibawa,
“yang abah pikirkan bukan ramai atau tidaknya warung kita, karena abah yakin tanpa warung pun kita bisa hidup, rezeki Allah banyak sumbernya, yang abah pikirkan adalah bagaimana bisa ada orang yang melontarkan fitnah itu kepada keluarga kita, abah khawatir ada hak orang tersebut yang belum abah tunaikan sebagai tetangga kepada orang itu”
Ujar abah dengan nada terisak ...
                                      ---<<<<>>>>---

Warung yang di miliki bu fathimah adalah hasil jerih payah keluarganya sejak beberapa tahun yang lalu, sebelum adanya warung itu, pak lasman menjajakan dagangannya dengan berkeliling menggunakan sepeda, berangkat jam 05.00 dan pulang sekitar pukul 09.00, dari uang penghasilan  itu lah pak lasman dapat membeli sebilik toko d dekat rumahnya.
Hari-hari berikutnya bu fathimah dan pak lasman berdagang di tempat itu, makin hari warungnya makin ramai, menu makanan makin lengkap, semuanya meningkat per harinya ..
Tapi itu tidak membuat semau tetangga pedagangnya senang, seorang pedagang senior di kawasan toko itu merasa takut tersaingi, karena dia melihat perkembangan yang sangat pesat, dan dia sering melihat banyak pelanggannya yang berpindah ke area parkiran warung makan bu Fathimah.
Pandangan api yang selalu ia layangkan, ketika melihat wajah pak lasman tersenyum melayani pelanggannya ..  hatinya benar-benar terbakan oleh kedengkian yang ditiup oleh Iblis ..
Waktu itu pun tiba, pak alex pemilik masakan padang yang cukup besar di kawasan itu, merencakan satu hal yang sangat busuk, dia suruh salah satu anak buahnya untuk pura-pura membeli makanan di warung bu fhatimah, namun ketika bu Fathimah lengah, dia masukkan beberapa cacing tanah ke dalam salah satu menu sayur di etalase bu Fathimah, selesai misi dia peergi, tak jauh dar warung itu, datang pesuruh pak alex yang lain, kali ini dia memesan masakan yang telah di masui cacing oleh temannya, begitu sesuap prtama ...
“Wwoooaaaa .... jimat cacing ,,” jeritnya dengan keras, semua pandangan dan perhatian tertuju kepada pesuruh satu ini,
Teman yang lain datang untuk menyalakan api,
“ huueeekk,, pantesan enak, jimat cacing .. “
Jimat cacing...!! jimat cacing...!! teriak para pelanggan yang mulai kalap, keadaan warung kacauu,,
Bu fathimah beserta anaknya duhaiman berusaha menenangkan, ttaapi apa boleh buat,keadaan terlanjur kacau banyak pelanggan yang tidak membayar ...
                                     -----------<<<<>>>>>-------------

Sore harinya, sepulang pak lasman dari mengajar, bu fathimah bercerita kejadian di warung itu, pak lasman menyimak dan bergumam,
“ini pasti fitnah, ada seorang yang tidak suka dengan keberadaan warung kita” ..
Lalu pak lasman pergi ke masjid, sepulang dari masjid hatinya masih berfikir siapa orang yang telah mem fitnah keluarganya itu, dia tidak langsung masuk rumah, tapi berdiri lama di emperan rumahnya ..

TEMPAT BARU YANG NYAMAN
Kini pak lasman beserta keluarganya pindah di kota Tasikmalaya, tepatnya di jalan raya gobras-cibeureum, gunung kalong. Dengan sisa uang yang dimilikinya pak lasman menyewa sebuah rumah sederhana dan kembali membuka warung makan di tempat itu.
Di tempat baru itu pak lasman mendapat ketenananangan, kenyamanan, tetangga yang sangat ramah, pak lasman sangat bersyukur bisa mendpat tetangga dan lingkunangan seperti itu.  Makin hari, makin akrab dan dekat pula huubungan keluarga pak lasman dengan para tetangga itu, pak lasman mendapat panggilan “aki” di lingkungan baarunya itu.
“Segala sesuat pasti ada hikmahnya” ujar pak lasman di tengah-tengah obrolannya dengan para tetua kampung,
“ya, jelas atuh ki .. segala sesuatu kan sudaah di tentukan oleh Allah, gak mungkin Allah kasih yang jelek buat hambanya”
Timbal pak Hardi, kiyai setempat .
Pak lasman tersenyum lebar, dia memandang orang sekitarnya, meereka terlihat ssangat ramah dan bersahabat, dia tersenyaum dan  mulai bercerita,
Bercerita tentang kisah pahitnya, tapi dengan raut dan roman yang berbeda ketika beliau mengalaminya,, kini ia  bercerita dengan gembira ..
Ceritanya di akhiri dengan kata, “ya, al hamdulillah semua yang hilang di sana sudah tergantikan denngan sesuatu yang lebih baik di sini” .
Tawa rrenyah terdengar dari para tetua yang sedang berkumpul.

                                        LEMBAGA ANEH

Hari ini adalah hari ahad, di mana para penduduk menagadakan gotong royong merapikan lingkungan mereka, anak-anak pak lasman juga ikut membantu, pak lasman beserta istri dan putrinya yang bernama sulaha menyiapkan snack, makan pagi dan minuman untuk para warga yang sedang bekerja.
“ibu” ujar sulaha di sela mengadon tepuk untuk pisang goreng.
“sudah tiga pekan sulaha tidak sekolah, sulaha ingin sekolah kembali, mendapat teman yang baru, ilmu baru, dan pengalaman baru ..”
Ibunya menoleh, tersenyum melihat putri cantiknya yang gelisah karena belum mendapat tempat belajar yang baru, sembari tersenyum bu fathimah berkata “ nak, berharap lah kamu mendapat sekolah yang bagus, bahkan lebih bagus dari sekolah kamu sebelumnya” .
“iya bu” , jawabnya dengan sangat sopan.
Mereka pun kembali mengadon, dan menggoreng pisan yang telah disiapkan oleh warga .
“Assalamu’alaikum, bu. Snack sudah siap belum”,sapa Zubair yang tiba-tiba sudah berada di pintu dapur,,
“hai, kamu ini buat kaget saja” jawab bu fathimah dengan nada agak kesal, anaknya yang satu ini memang agak jail dan nakal, terutama kepada adek bungsunya yang sedang memasak ini.
“iya, tuh. Dengerin kata ibu, masuk gak pake salam, langsung tanya snack,.” ...
“aku udah salam, kamu aja yang gak mau jawab” ujar zubair ketus .
“sudah-sudah jangan betengkar lagi” ibu fathimah melerai ..
“bawa saja itu nampan sudah siap semua pisang gorrengnya” lanjut bu fathimah..
Di tengah makan bersama dengan para warga pak lasman mendengar ada sebuah lembaga aneh, yang ada tidak jauh dari lokasinya itu, suatu lembaga yang katanya lembaga syiah lah, atau apalah,, banyak cap jelek yang tersemat di lembaga itu.
Cap jelek itu tidak lantas membuat pak Lasman benci, beliau adalah orang tua bijaksana yang tidak bisa menelan berita mentah-mentah, beliau mempunyai prinsip ketika menerima berita, beliau ingat dengan jelas pesan yang di berikan oleh rabbnya dalam kitab yang mulia, Allah berfirman : “wahai orang-orang yang beriman apabila datang orang fasik dengan suatu berita, maka tabayyun(crosschek) lah..” surah al hujurat.
Berita itu membuat pak lasman penasaran, dia mulai menanyakan kepada para tetua yang biasa berkumpul bersamanya di masjid selepas sholat shubuh, para tetua di tempat itu sama bijaksananya dengan pak Lasman, ketika pak lasman bercerita tentang pendapat masyarakat akan lembaga yang pak lasman belum ia ketahui namanya itu, mereka hanya tertawa, dan berkata: “ sudahlah, itu hanya gosip, lebih baik pak Lasman cari tau saja kebenarannya” ..
Pertemuan shubuh itu berakhir, pak lasman kembali kerumah, di rumah bu fathimah sedang memasak sarapan untuk keluarganya, hari ini bu fahtimah tidak berjualan karena ingin beristirahat setelah sepekan penuh berjualan dari pukul : 08.30-17.00. pak lasman bertujuan mengajak keluarganya ke lembaga yang membuatnya penasaran ..



Setelah mendapat alamat lengkap tentang lembaga itu akhirnya pak lasman pergi bersama pergi di temani oleh putrinya yang bernama sulaha, dia putri pak lasman yang ke 3, umurnya masih 14 tahun, dengan kecerdasan yang luar biasa dan kecantikannya yang membuat kagum setiap yang melihatnya, tak heran membuat para lelaki tertarik ..

Sampai di tempat itu, di sisi kiri terlihat jelas gedung tiga lantai, dengan cat biru muda yang menawan, di pagar terlihat spanduk SAI, singkatan dari sai homeschooling, turun dari motor, pak lasman di sambut oleh salah satu pengurus lembaga itu, beliau di bawa ke guesthouse. Setelah berkenalan dan basa-basi, pak lasman langsung crosschek akan berita yang masuk ke telinga beliau beberapa waktu yang lalu, jawaban dari pengurus itu yang ternyata adalah mr.ozzy kepala sekolah SAI homeschooling sangat memuaskan pak lasman, dan tanpa di sangka, sulaha putri pak lasman tertarik untuk masuk ke SAI .


                 ------<<<<<<>>>>>>------            ------<<<<<>>>>>-------
Tahun ajaran baru di mulai, sulaha memasuki babak baru dalam kehidupannya, dalam 6 tahun dia bersekolah di sekolah formal, tapi saat ini sekolah yang di masukinya adalah in formal.
Sekolah yang asyik dan menyenangkan, serta tidak membosankan ... sekolah, yang sangat mengedepankan aspek kekeluargaan,,                 di sekolah itu dia benar-benar merasa nyaman ,,                               untuk lebih lanjut seperti apa kisah sulaha di sai, nantikan edisi berikutnya ,, SAI homeschooling ..



Sabtu, 27 Desember 2014

HADIAH SPESIAL ANAK

Seorang pria berhenti ditoko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang tinggal 250 KM darinya. Begitu keluar dari mobilmya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu bertanya mengapa gadis kecil itu menangis dan gadis kecil itu menjawab,Saya ingin membeli setangkai bunga mawar merah untuk ibu saya. Tetapi saya hanya mempunyai uang lima ratus rupiah, sedangkan harga mawar itu seribu rupiah.
Pria itu tersenyum dan berkata, Ayo ikut aku, aku akan membelikan bunga yang kau mau. Kemudian, ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesan karangan bunga untuk dikirimkan kepada ibunya.
Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri utuk mengantarkan gadis itu pulang kerumah. Gadis kecil itu melonjak gembira, katanya, Ya, tentu saja. Maukah Anda mengantar saya ketempat ibuku?
Kemudian mereka berdua menuju tempat yang ditunjuk gadis kecil itu, yaitu pemakaman umum.
Setibanya disana gadis kecil itu meletakkan bunganya pada sebuah kuburan yang masih basah.
Melihat itu, hati pria itu menjadi terenyuh dan teringat akan sesuatu. Bergegas ia kembali menuju toko bunga tadi dan membatalkan kirimanya.
Ia mengambil karangan bunga yang telah dipesannya dan mengendarai sendiri kendaraannya sejauh 250 KM menuju kerumah ibunya..

Senin, 05 Mei 2014

MENGENAL WADI,MANI DAN MADZI.

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, mungkin sebagian di antara kita merasa asing dengan kata-kata yang terdapat pada judul di atas. Insya Allah kita semua telah paham mengenai mani. Namun, apa itu madzi ? dan apapula itu wadi ? Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya mari kita simak bersama pembahasan mengenai ketiga hal ini beserta hukumnya masing-masing
Mani
Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Keluarnya mani menyebabkan seseorang harus mandi besar / mandi junub. Hukum air mani adalah suci dan tidak najis ( berdasarkan pendapat yang terkuat). Apabila pakaian seseorang terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya masih dalam keadaan basah. Adapun apabila air mani telah mengering, maka cukup dengan mengeriknya saja. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, beliau berkata “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah dengan kuku saya.” (HR. Muslim)
Wadi
Wadi adalah air putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing. Keluarnya air wadi dapat membatalkan wudhu. Wadi termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi terkena badan, maka cara membersihkannya adalah dengan dicuci.
Madzi
Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air wadi, hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian, maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan). Keluarnya air madzi  membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian yang dapat kami sampaikan dalam pembahasan kali ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Terakhir, kami tutup dengan firman Allah yang artinya, “Allah tidaklah malu dalam menjelaskan hal yang benar.” (QS. Al Ahzab: 53)

WAJIBNYA BERIMAN KEPADA ALLAH.


Memperkokoh Keimanan pada Allah
Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan Allah kami mencoba mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga ulasan berikut dapat memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Makna Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan  mulia, tersucikan dari segala kekurangan dan  cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).
Cakupan Iman  Kepada Allah
Iman kepada Allah mencakup empat perkara :
Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.
Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dalil Tentang Keberadaan Allah
Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.
Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Hal ini  berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Ta’ala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.
Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).
Iman terhadap Rububiyah
Maksudnya adalah beriman bahwa  Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Ta’ala kecuali  karena sombong. Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat pada diri Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى
“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at: 24)
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَآأَيُّهَا الْمَلأُ مَاعَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي صَرْحًا لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)
Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).
Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengakui rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.
Iman Kepada Uluhiyah
Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk. Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batil” (QS. Luqman: 30).
Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin)
Antara  Rububiyah dan Uluhiyah
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}
“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).” (QS. Asy Syu’aroo’:75-82)
Tauhid rububyah dan uluhiyah  terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}
“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1). Raja manusia(2). Sesembahan manusia(3).” (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini adalah Raja yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya, “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ {40}
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)
قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا {164}
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al An’am :164)
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا {30}
“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al Fauzan)
Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah
Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah  pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {11}
” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin).
Cabang Keimanan yang Tertinggi
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)
Faedah Iman yang Benar
Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang beriman, di antaranya:
Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada tempat bergantung selain Allah dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah dan memberikan kita istiqomah di atas iman yang benar.  Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa  sallaam.

Jumat, 02 Mei 2014

AKHLAQ YANG LANGKA

Islam dengan ajarannya yang syumuliyyah telah menjadikan umat Muhammad sebagai umat yang terbaik. Mulai dari ibadah, akidah, muamalah, termasuk akhlak Islamiyah, semuanya telah Allah atur sedemikian rupa dengan perantara Rasulullah sebagai teladan yang terbaik.

Akhlak secara etimologis berasal dari suku kata “خلق- يخلق- خلقا” yang berarti asal menciptakan, membuat, atau menjadikan (A.W Munawwir, 1997: 363). Ditinjau dari segi terminologis, akhlak berarti sejumlah sifat tabiat fitri (asli) dan diusahakan pada seorang manusia. Pendapat ini mengutip dari Ibnu Masykawaih yang hampir senada dengan ucapan Al-Ghazali, “Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.” (Wawasan Al-Islam, 154). Berdasarkan definisi di atas, akhlak merupakan sesuatu yang bersifat tabiat. Baik itu asli (fitrah) atau bukan (diusahakan), baik secara kasat mata (zahiriyah) atau pun tidak nampak (bathiniyyah). Jauh lebih dari itu, akhlak merupakan sesuatu yang bersifat melekat (spontanitas) pada seseorang (Ar-Raghib Al-Ashfahani, 2009: 120)

Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam mu’jam-nya memasukkan dua istilah ketika membahas kata خلق, yakni خَلْق (khalqun) dan خُلُق (khuluqun), khalqun adalah kalimat khusus yang digunakan untuk keadaan, bentuk, dan gambar yang terindra oleh penglihatan, sedangkan khuluqun adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekuatan dan tabiat yang terindra oleh akal maupun kearifan. Ini disa dilihat dalam salah satu Rasulallah saw,

اَللَّهُـمَّ كَمَا حَسَّـنْتَ خَلْقِـيْ فَحَسِّـنْ خُلُقِـيْ

Ya Allah sebagaimana Engkau telah indahkan rupaku, maka baikkanlah akhlakku.

Posisi Akhlak dalam Perkembangan Peradaban

Sejak anak cucu adam melakukan dosa pertama dengan terbunuhnya Habil, maka sejak saat itu pula kita bisa melihat bagaimana akhlak manusia, bahkan mungkin jauh lebih awal ketika Adam dan Hawa berbuat kesalahan di surga. Hal ini jelas menggambarkan bahwa manusia tidak terlepas dari akhlak, terlepas dari baik dan buruknya akhlak itu. Dan karena hal ini pula yang menyebabkan tidak ada satu peradaban bahkan ajaran (agama) sekalipun yang mengesampingkan satu aspek akhlak. Setiap ajaran (agama) dan peradaban mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menilai dan meletakkan akhlak itu sendiri.

Yunani-Romawi misalnya, dengan kultur mereka yang kerap mengagungkan akal dan kepuasaan sesaat, turut memengaruhi cara pandang dua negeri adidaya kuno ini terhadap akhlak. Mulai dari pandangan kaum Sofis yang menitikberatkan akhlak kepada kepemilikan hak, berlanjut pada peran akal yang menjadi tolok ukur akhlak seperti yang tergambar pada pendapat Socrates, Plato, dan Aristoteles, hingga penafsiran akhlak yang sangat hedonistik dari murid Socrates, Aristippus. Dia mengatakan, “Segala sesuatu yang dapat mewujudkan kelezatan, itulah akhlak.” (Ali Abdul Halim Mahmud, 1996: 99)

Lain Yunani-Romawi, lain pula Yahudi-Nasrani (Masehi). Dengan karakteristik bangsa Yahudi yang keras, ini membawa ajaran Yahudi menjadi tidak memiliki pengaruh sama sekali, dan tidak bisa memberi batasan ideal tentang konsepsi akhlak itu sendiri. Setali tiga uang dengan Yahudi, mudahnya ajaran masehi untuk diotak-atik membuat akhlak bukan menjadi hal yang sakral lagi dalam ajaran ini. Dengan mudahnya orang melanggar etika, berbuat hina, atau sebagainya. Toh, pada akhirnya semua dosa bisa ditebus kepada rahib-rahib. Puncaknya, Yahudi yang banyak tahu berbagai hal, dengan kesombongannya malah diam seolah tidak pernah mendengar adanya sebuah perintah wahyu. Sebaliknya, Nasrani yang jauh dari petunjuk (bahkan mungkin hilang dari asalnya), malah sibuk melakukan apa yang mereka tidak ketahui asalnya.

Berpindah pada Komunis yang punya pandangan sendiri terkait peran akhlak. Akhlak mereka tergambar dari sifat kecenderungan Komunis dalam melawan apapun yang sifatnya doktrin dari Tuhan (agama). Seperti ucapan seorang Borjuis (Ali Abdul Halim Mahmud, 1996: 122) yang mengatakan bahwa kita ada untuk memerangi adab dan akhlak (yang bersumber dari agama). Ini lebih karena pandangan komunisme itu sendiri terhadap agama. Komunisme menganggap agama (lebih jauhnya lagi Tuhan) seperti halnya seorang pemilik saham, penanam modal, atau para penguasa perusahaan. Baik agama (Tuhan) maupun majikan (tuan) mereka anggap sebagai sesuatu yang menuntut dan memanfaatkan sesuatu dari pegawai (rakyat umum). Sehingga akhlak mereka anggap sebagai akal-akalan yang dibuat oleh agama –juga pemilik modal- sebagai batasan dan acuan bekerja rakyat kecil yang tentunya menguntungkan agama. Seperti yang dikatakan oleh Halim Mahmud bahwa komunisme tidak memandang sedikit kebaikan insaniyah dalam etika atau akhlak. Maka melalui ini setidaknya kita sudah tahu bagaimana Komunisme memandang dan menempatkan akhlak dalam pandangan mereka.

Islam sebagai din penyempurna dan penutup risalah, mempunyai pandangan dan penempatan yang lebih sempurna akan akhlak. Islam jauh mengungguli ajaran dan pandangan hidup lainnya baik yang ada sebelum atau sesudah Islam ada. Bukan hanya dalam pengaturannya akan akhlak terhadap sesama muslim, tetapi Islam juga mengatur akhlak sesama makhluk hidup, diri sendiri, dan dengan Cang Pencipta tentunya. Satu rangkaian belandaskan akidah yang tidak dimiliki oleh ajaran dan pandangan hidup yang lainnya.

Asas Akhlak dalam Islam

Hadits di atas merupakan alasan paling kuat dan paling agung dari diutusnya Rasulallah saw. Dalam hadits itu terkandung betapa menekankannya Rasulullah akan akhlak sebagai inti risalah dan ajarannya. Penekanan ini telah Rasulallah kuatkan dalam kesempatan lain kepada para sahabatnya.

“Tidak ada timbangan yang paling berat kecuali akhlak.” (at-Tirmidzi)

“Paling banyak yang menyebabkan masuk surga, yaitu taqwa pada Allah dan berakhlak baik”. (H.R Baihaqi)

Hadits-hadits di atas hanya beberapa dari banyaknya hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang urgensi dan nilai akhlak dalam ajaran Islam, tanpa menganggap kecil urusan lainnya. Baiknya akhlak seseorang merupakan salah satu bukti baiknya akidah seseorang. Karena antara akhlak dan akidah (juga yang lainnya) terdapat sebuah hubungan korelatif yang tidak mungkin terpisahkan.

سأل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن البر والاثم قال البر حسن الخلق والإثم ما حك في نفسك وكرهت أن يطلع عليه الناس. (البخارى)

Rasulallah saw ditanya tentang kebaikan dan dosa. Rasul menjawab, “Kebaikan (al-birru) adalah akhlak yang baik, dan dosa itu adalah sesuatu yang berada di hatimu dan kamu takut orang lain mengetahui akan hal itu.”

Hadits ini menerangkan tentang penjelasan Rasulallah kepada Nawwas bin Sam’an Al-Anshary tentang birrun dan itsmun. Di sini disebutkan bahwa yang dimaksud birrun adalah husnu al-khulq. Sedangkan birrun yang diartikan berbuat baik apalagi kepada orang tua adalah sesuatu yang sering berdampingan dengan perintah tidak menyekutukan Allah. Ini menjadi penguat kesekian-kalinya tentang besarnya peran akhlak dalam Islam. Karena dengan akhlak, seseorang dapat dibedakan apakah dia mukmin yang kuat atau yang lemah.

Dari kata husnu al-Khulq ini pula kita mendapati kata yang serumpun, yakni Ihsan yang merupakan satu diantara tiga rukun agama selain dari Iman dan Islam. Ada dua macam Ihsan dalam pengaplikasiannya. Pertama, Ihsan dalam beribadah. Ini sesuai dengan Ihsan yang Rasulullah terangkan kepada Jibril di hadapan para sahabat, “Ihsan adalah ketika kamu beribadah kepada Allah seolah-olah Dia melihatmu, meskipun sejatinya kamu tidak melihat-Nya.” Adapun yang kedua adalah Ihsan dalam artian berbudi beperti baik kepada sesama manusia. Hal ini terpatri dalam firman Allah surat al-Isra ayat 23, Ali Imran ayat 134, dan al-Ankabut ayat 69.

Bahkan lebih dari itu, ihsan jenis kedua ini seperti yang telah disebutkan di awal. Yakni lebih besar cakupannya dan bukan hanya kepada manusia. Tetapi kepada hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk bernyawa yang ada di muka bumi ini.

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ. (البخارى)

Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah kita mendapat pahala karena kita menolong hewan?” Nabi saw menjawab, “di setiap yang mempunyai limpa basah ada pahalanya.” (Shahih Muslim, 4: 104)

Rasulullah Sang Duta Akhlak

Bukti Islam sebagai agama yang sempurna tidak habis pada tingginya posisi dan luasnya cakupan akhlak. Tetapi kesungguhan Allah dalam menjadikan Islam sebagai Rahmatan lil Aalamin terlihat jelas dengan menjadikan Muhammad sebagai manusia terbaik dan pengemban risalah Islam sendiri. Korelasi antara Al-Quran sebagai pedoman dan Muhammad sebagai utusan tergambar benar pada jawaban Aisyah ra kepada Sa’ad bin Hisyam bin Amir ra,

فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ

“Sesungguhnya akhlak Nabi saw adalah Al-Quran.”

Dalam sumber lain, Siti Aisyah menyertakan surat al-Mukminun ayat 1-5 dalam menjelaskan maksud hadits ini.

Itu sebabnya al-Quran dan as-Sunnah menjadi dua sumber hukum Islam paling komprehensif. Karena al-Quran dan hadits (yang mewakili segala tingkah dan ucapan Rasulullah) adalah wahyu Allah swt yang disampaikan melalui malaikat Jibril dan hikmah.

Menjadi Generasi Ulul Albab dan Suri Teladan Umat

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berfikir. (Ali Imran : 7)

Modal keimanan dan intelektualitas adalah modal paling utama untuk menjadi insan Ulul Albab. Yakni salah satu insan yang utama diantara manusia lainnya. Dan mahasiswa, mempunyai dua modal penting itu. Mereka hidup di tengah arus beredarnya ilmu pengetahuan, akses yang mudah akan sumber-sumber ilmu membuat mahasiswa setidaknya memenuhi satu dari dua syarat ini. Tinggal memilih, apa siap menjadi insan Ulul albab dengan memperkuat keimanan dan memperbaiki akhlak tentunya, atau justru sebaliknya? Sungguh semua kembali pada kita. Karena sejatinya kita tidak akan pernah menjadi pemimpin dan pembaharu bangsa jika tidak memiliki karakter keimanan yang kuat dan wawasan yang luas. Pemimpin tidaklah membutuhkan kecerdasan wawasan, tetapi karakter diri yang baik bagi seorang muslim haruslah berdasarkan akidah Islamiyah.

Selain dari itu, sudah bosan rasanya mendengar jargon mahasiswa sebagai agen perubahan. Namun sejatinya, masyarakat tidak akan pernah tergiring untuk berubah ke arah yang lebih baik tanpa adanya teladan yang baik pula. Semua bermula pada diri kita sendiri. Menuju perubahan masyarakat, diawali perubahan akhlak, perubahan besar yang dianggap kecil oleh kebanyakan orang.

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Wallau a’lam bish-shawab…

BAHAYA MENINGGALKAN SHOLAT.

Ibnu Abbas, berkata, Maksud Hadist: “Aku dengar Rasulullah SAW bersabda: “Awalnya orang yang meninggalkan solat itu, bukanlah dia termasuk golongan Islam. Allah tidak terima tauhid dan imannya dan tidak ada faedah shodakah, puasa dan syahadatnya”. Alhadist.



Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW, bukan saja diperlihatkan tentang balasan orang yang beramal baik, tetapi juga diperlihatkan balasan orang yang berbuat mungkar, diantaranya siksaan bagi yang meninggalkan Sholat fardhu.

Mengenai balasan orang yang meninggalkan Sholat Fardu: “Rasulullah SAW, diperlihatkan

pada suatu kaum yang membenturkan kepala mereka pada batu, Setiap kali benturan itu menyebabkan kepala pecah, kemudian ia kembali kepada keadaan semula dan mereka tidak terus berhenti melakukannya. Lalu Rasulullah bertanya: “Siapakah ini wahai Jibril”? Jibril menjawab: “Mereka ini orang yang berat kepalanya untuk menunaikan Sholat fardhu”. (Riwayat Tabrani).

Orang yang meninggalkan Sholat akan dimasukkan ke dalam Neraka Saqor. Maksud Firman Allah Ta’ala: “..Setelah melihat orang-orang yang bersalah itu, mereka berkata: “Apakah yang menyebabkan kamu masuk ke dalam Neraka Saqor ?”. Orang-orang yang bersalah itu menjawab: “kami termasuk dalam kumpulan orang-orang yang tidak mengerjakan Sholat”

Saad bin Abi Waqas bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai orang yang melalaikan Sholat, maka jawab Baginda SAW, “yaitu mengakhirkan waktu Sholat dari waktu asalnya hingga sampai waktu Sholat lain. Mereka telah menyia-nyiakan dan melewatkan waktu Sholat, maka mereka diancam dengan Neraka Wail”.
Ibn Abbas dan Said bin Al-Musaiyib turut menafsirkan hadist di atas “yaitu orang yang melengah-lengahkan Sholat mereka sehingga sampai kepada waktu Sholat lain, maka bagi pelakunya jika mereka tidak bertaubat Allah menjanjikan mereka Neraka Jahannam tempat kembalinya”.



Maksud Hadist: “Siapa meninggalkan sholat dengan sengaja, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan nyata”.

Berdasarkan hadist ini, Sebagaian besar ulama (termasuk Imam Syafi’i) berfatwa: Tidak wajib memandikan, mengkafankan dan mensholatkan jenazah seseorang yang meninggal dunia dan mengaku Islam, tetapi tidak pernah mengerjakan sholat. Bahkan, ada yang mengatakan haram mensholatkanya.

Siksa Neraka Sangat Mengerikan

Mereka yang meninggalkan sholat akan menerima siksa di dunia dan di alam kubur yang terdiri dari tiga siksaan.



Tiga jenis siksa di dalam kubur yaitu:
1. Kuburnya akan berhimpit-himpit serapat mungkin sehingga meremukkan tulang-tulang dada.
2. Dinyalakan api di dalam kuburnya dan api itu akan membelit dan membakar tubuhnya siang dan malam tiada henti-henti.
3.Akan muncul seekor ular yang bernama “Sujaul Aqra” Ia akan berkata, kepada si mati dengan suaranya bagai halilintar: “Aku disuruh oleh Allah memukulmu sebab meninggalkan sholat dari Subuh hingga Dhuhur, kemudian dari Dhuhur ke Asar, dari Asar ke Maghrib dan dari Maghrib ke Isya’ hingga Subuh”. Ia dipukul dari waktu Subuh hingga naik matahari, kemudian dipukul dan dibenturkan hingga terjungkal ke perut bumi karena meninggalkan Sholat Dhuhur. Kemudian dipukul lagi karena meninggalkan Sholat Asar, begitulah seterusnya dari Asar ke Maghrib, dari Maghrib ke waktu Isya’ hingga ke waktu Subuh lagi. Demikianlah seterusnya siksaan oleh “Sajaul Aqra” hingga hari Qiamat.



Didalam Neraka Jahanam terdapat wadi (lembah) yang didalamnya terdapat ular-ular berukuran sebesar tengkuk unta dan panjangnya sebulan perjalanan. Kerjanya tiada lain kecuali menggigit orang-orang yang tidak mengerjakan Sholat semasa hidup mereka. Bisa ular itu juga menggelegak di di badan mereka selama 70 tahun sehingga hancur seluruh daging badan mereka. Kemudian tubuh kembali pulih, lalu digigit lagi dan begitulah seterusnya.



Maksud Hadist: “orang yang meninggalkan sholat, akan Allah hantarkan kepadanya seekor ular besar bernama “Suja’ul Akra”, yang matanya memancarkan api, mempunyai tangan dan berkuku besi, dengan membawa alat pemukul dari besi berat”.

Siapakah orang yang sombong?

Orang yang sombong adalah orang yang diberi penghidupan tapi tidak mau sujud pada yang menjadikan kehidupan itu yaitu, Allah Rabbul Alaamin, Tuhan sekalian alam. Maka bertasbihlah segala apa yang ada di bumi dan di langit pada TuhanNya kecuali Iblis dan manusia yang sombong diri.

Siapakah orang yang telah mati hatinya?

Orang yang telah mati hatinya adalah orang yang diberi petunjuk melalui ayat-ayat Qur’an, Hadits dan cerita-cerita kebaikan namun merasa tidak ada kesan apa-apa di dalam jiwa untuk bertaubat.

Siapakah orang dungu kepala otaknya?

Orang yang dungu kepala otaknya adalah orang yang tidak mau melakukan ibadah tapi menyangka bahwa Allah tidak akan menyiksanya dengan kelalaiannya itu dan sering merasa tenang dengan kemaksiatannya.

Siapakah orang yang bodoh?

Orang yang bodoh adalah orang yang bersungguh-sungguh berusaha sekuat tenaga untuk dunianya sedangkan akhiratnya diabaikan.

Bahaya Meninggalkan Sholat

Barang siapa yang (sengaja) meninggalkan solat fardhu lima waktu:



Subuh –Allah Ta’ala akan menenggelamkannya kedalam neraka Jahannam selama 60 tahun hitungan akhirat. (1 tahun diakhirat=1000 tahun didunia=60,000 tahun).



Dhuhur -Dosa sama seperti membunuh 1000 orang muslim.



Asar -Dosa seperti menghacurkan Ka’bah.



Maghrib -Dosa seperti berzina dengan ibu-bapak sendiri.



Isya’ -Allah Ta’ala akan berseru kepada mereka: “Hai orang yang meninggalkan sholat Isya’, bahwa Aku tidak lagi ridha’ engkau tinggal dibumiKu dan menggunakan nikmat-nikmatKu, segala yang digunakan dan dikerjakan adalah berdosa kepada Allah Ta’ala”.

Maksud Firman Allah Ta’ala: “Mereka yang menyia-nyiakan solat dan mengikuti hawa nafsu kepada kejahatan, maka tetaplah mereka jatuh ke dalam satu telaga api neraka.” (Maryam : 59).

Kehinaan bagi yang meninggalkan sholat:

Di dunia

A.Allah Ta’ala menghilangkan berkat dari usaha dan rezekinya.

B.Allah Ta’ala mencabut nur orang-orang mukmin (sholeh) dari pada (wajah) nya.

c.ia akan dibenci oleh orang-orang yang beriman.

Ketika Sakaratul Maut

a.Ruh dicabut ketika ia berada didalam keadaan yang sangat haus.

b.Dia akan merasa amat azab/pedih ketika ruh dicabut keluar.

c.Dia akan Mati Buruk (su’ul khatimah)

d.ia akan dirisaukan dan akan hilang imannya.

Ketika di Alam Barzakh

A.ia akan merasa susah (untuk menjawab) terhadap pertanyaan (serta menerima hukuman) dari Malaikat Mungkar dan Nakir yang sangat menakutkan.

B.Kuburnya akan menjadi sangat gelap.

C.Kuburnya akan menghimpit sehingga semua tulang-tulang rusuknya berkumpul (seperti jari bertemu jari).

D.Siksaan oleh binatang-binatang berbisa seperti ular, kala jengking dan lipan.

Malaikat Jibril as, telah menemui Nabi Muhammad SAW, dan berkata:

“Ya Muhammad.. Tidaklah diterima bagi orang yang meninggalkan sholat yaitu: Puasanya, Shodaqahnya, Zakatnya, Hajinya dan Amal baiknya”.


Orang yang meninggalkan Sholat akan diturunkan kepadanya tiap-tiap hari dan malam seribu laknat dan seribu murka. Begitu juga Para Malaikat di langit ke-7 akan melaknatnya.


Ya Muhammad..! Orang yang meninggalkan Sholat tidak akan mendapat syafa’atmu dan ia tidak tergolong dari umatmu.. Tidak boleh diziarahi ketika ia sakit, tidak boleh mengiringi jenazahnya, tidak boleh beri salam pada nya, tidak boleh makan minum dengan nya, tidak boleh bersahabat dengannya, tidak boleh duduk besertanya, tidak ada Agama baginya, tidak ada kepercayaan bagi nya, tidak ada baginya Rahmat Allah dan ia dikumpulkan bersama dengan orang Munafiqiin pada lapisan Neraka yang paling bawah (diazab dengan amat dahsyat..).

Sabda Nabi Muhammad SAW, Maksud Hadist: “Perjanjian (perbedaan) diantara kita (orang islam) dengan mereka (orang kafir) ialah Sholat, dan barangsiapa meninggalkan Sholat sesungguhnya ia telah menjadi seorang kafir”. (Tirmizi).

Wahai Saudaraku Ummat Islam, mari kita merenung sejenak tentang ancaman azab bagi yang meninggalkan sholat Fardhu. Apa guna kita hidup di dunia sekalipun berlimpah harta jika kita termasuk golongan orang-orang yang (kafir) meninggalkan sholat..?, barang siapa meninggalkan Sholat, maka ia telah menjadi kafir dengan nyata…! Orang yang meninggalkan sholat, ia wajib menerima azab Allah Ta’ala..! Orang yang meninggalkan sholat, tidak akan mendapat Syafa’at Nabi Muhammad SAW, karena mereka telah menjadi kafir dan orang kafir tidak berhak mendapat Syafa’at Nabi Muhammad SAW. Ancaman Allah Ta’ala terhadap orang-orang yang meninggalkan sholat bukan sekedar gertakan belaka. Sungguh ancaman Allah Ta’ala akan terbukti kelak di akhirat. “…sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janji”

Jumat, 04 April 2014

BUKTIKAN ANDA MUSLIM DENGAN SHOLAT.

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata,  “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan  -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula  ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa,7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)