Puasa
Ramadhan adalah amalan yang memang ditunggu kebanyakan kaum Muslimin di
seluruh dunia. Pada bulan ini, semua orang berduyun-duyun untuk
melakukan amal kebaikan dan perbaikan diri, karena pada bulan ini,
pahala akan dilipat gandakan di sisi Allah. Sehingga, bulan ini serang
disebut sebagai bulan yang penuh dengan kebarakahan, dimana barakah
tersebut adalah limpahan pahala yang besar dan berlipat ganda dari sisi
Allah.
Pelaksanaan
Puasa Ramadhan di dalamnya banyak amalan dan keuatamaan lain selain
dari pada puasa itu sendiri. Salah satu dari keutamaan sunnah yang
diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam
tersebut adalah mengakhirkan Sahur dan menyegerakan berbuka.
Pada
Postingan sebelumnya, kita sudah sedikit mengupas tentang keutamaan
berbuka puasa, maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang
Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam yaitu dalam mengakhirkan Sahur.
=================================
Pengertian Sahur
Perlu diketahui sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan sahuur (السَحُور), secara bahasa Arab berarti makanan yang disantap sebelum berpuasa. Adapun suhuur (سُحُور), adalah perbuatan menyantap makanan sahur. Penyebutan dan penggunaan kedua istilah ini kerap terbalik dalam bahasa Indonesia.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan sahuur (السَحُور), secara bahasa Arab berarti makanan yang disantap sebelum berpuasa. Adapun suhuur (سُحُور), adalah perbuatan menyantap makanan sahur. Penyebutan dan penggunaan kedua istilah ini kerap terbalik dalam bahasa Indonesia.
Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan tentang keutamaan makanan sahur, diantaranya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Nabi Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makanan sahur terdapat barakah”
(Muttafaqun ‘alaih). Barakah maknanya ialah kebaikan yang tetap dan
banyak. Barakah dalam hadits ini, mencakup baik makanan sahur (as sahuur), maupun perbuatan sahur itu sendiri (suhuur). Akan tetapi riwayat hadits yang lebih banyak digunakan ialah as sahuur, makanan sahur.
Sunnah Mengakhirkan Waktu Sahur
Termasuk dalam sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam dalam pelaksanaan sahur adalah "mengakhirkan sahur". Hal ini berdasarkan hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Beliau Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam, sangat
berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang mendahulukan
waktu sahur jauh dari fajar shadiq. Hal ini secara
pasti bertentangan dengan amalan mulia yang dituntunkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam dalam hadits-hadits yang shahih.
Salah
satu Hadist tersebut di antaranya riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anha berkata :
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ
Artinya :
“Saya
pernah makan sahur bersama keluarga saya, kemudian saya bersegera untuk
mendapatkan sujud bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.”([1])
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِي r ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ. قُلْتُ : كمْ كانَ بَيْنَ الأذانِ وَالسَّحُورِ قال قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَــة
“Kami makan sahur bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh. Saya
(Anas bin Malik) bertanya kepadanya : berapa jarak antara adzan dengan
sahur ? Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha menjawab : kurang lebih selama
bacaan lima puluh ayat.”([2])
Waktu
terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الفـَجْرِ
Artinya :
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Q.S. Al-Baqarah : 187)
إنَّ بلاَلاَ كَانَ يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ rكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لا يُؤَذنُ حَتَّى يَطلُعَ الفَجْرُ . رواه البخاري
Artinya :
“Sesungguhnya
Bilal beradzan pada waktu malam hari, maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Silakan kalian makan dan minum sampai Ibnu
Ummi Maktum beradzan, sesungghnya dia tidak beradzan kecuali setelah
terbit fajar.” ( [3])
Sebagian
‘ulama membolehkan makan dan minum walaupun sudah terdengar adzan
apabila makanan masih ada di tangannya, berdalil dengan hadits Abu
Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'alaihi As-salam berkata :
إِذَا سَمِعَ أحَدُكمُ النِّدَاءَ وَالإنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقضِيَ حَاجَتهُ مِِنْهُ . رواه أبو داود والحاكم
Artinya :
“Jika
salah seorang dari kalian mendengar adzan sementara bejana masih ada di
tangannya maka janganlah menaruhnya sampai dia menyelesaikan hajatnya
dari bejana itu.” (H.R. Abu Daud dan Al-Hakim) ([4])
Sebagian
pihak menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur shahabat, namun
mayoritas riwayatnya tidaklah shahih atau tidak sah. Kalaupun ada yang
sah, namun tidak secara terang atau jelas bahwa mereka berpendapat
dengan pendapat tersebut. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan
bahwa hampir-hampir para fuqoha’ berijma’ (sepakat) dengan pendapat yang
berbeda dengan pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur shahabat di
atas.
Seandainya hadits di atas shahih, maka ada beberapa kemungkinan makna yang dimaksud dengan hadits ini :
1.
Bahwa hadits ini memberikan rukhshoh bagi orang yang kondisinya seperti
tersebut bukan untuk semua orang, sehingga tidak boleh diqiyaskan
dengan kondisi tersebut diatas .
2. Bahwa adzan yang dimaksud diatas
adalah adzan yang terjadi sebelum fajar, hal ini semakna dengan
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 25
hal.216.
Wallahu ta'alaa a'lam bi Ash-Shawab.
SUMBER;
SUMBER;
[1] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 18 hadits no : 1920
[2] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 21 hadits no. 1921 Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 47-[1097]
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918,1919, Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 36-[1092], 37-[1093].
[4] Hadits
ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Silsilatul Ahaditsish
Shahihah no. 1394. Namun Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v menyatakan hadits
ini ada kelemahannya dalam kitabnya Tatabbu’ Auhamil Hakim hadits no.
732, 743, dan 1552.
0 komentar:
Posting Komentar